Delapan Belas Tahun

Aku ingin mengutarakan kali ini, bukan lagi bercerita.
Di hari ini, tepat delapan belas tahun saat di mana mamaku memperjuangkan atas kelahiranku ke dunia. Memperjuangkan sekuat dan semampunya agar bisa melihat wajah mungilku, agar bisa mendengar tangisku, agar bisa memeluk ragaku. Tepat di hari itu, keluargaku berbahagia atas hadirnya aku sebagai cucu pertama. Semua menyayangiku, merawat dengan penuh ketulusan meski dokter waktu itu berkata aku tidak normal. Namun, keluargaku membuktikan bahwa aku bisa tumbuh normal, seperti anak-anak yang lain. 

Dan inilah aku sekarang. Memperingati hari di mana mamaku menjerit kesakitan, ayahku mondar-mandir mencari darah, kakek nenekku dan seluruh keluargaku berdoa tak henti untuk kelahiranku. Di sini, aku memperingati hari bahagia di kota orang. Jauh dari keluarga, tak bisa memeluk mereka untuk sekedar mengucapkan, "Mah, Yah, terima kasih atas delapan belas tahun ini. Terima kasih telah menemaniku selama ini. Terima kasih telah mendukungku sejauh ini. Aku sungguh tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa tumbuh tanpa kasih sayang dari kalian."

Di sini pula aku mengenang sosok almarhum kakekku. Sosok yang selalu mengerti atas apa-apa yang aku pendam dalam-dalam. Sosok yang pernah berkata, "Aku ingin menemani dan menikahkan Maya dengan tanganku sendiri." Namun sosok itu harus pergi lebih dulu sebelum aku bisa mengenalkan sosok lelaki yang nantinya akan aku jadikan teman hidupku.

Di sini pula, aku memiliki keluarga keduaku, teman-temanku yang menjadi kekuatanku menjalani hidup di asrama. Mereka selalu ada, bahkan tanpa aku minta untuk hadir, mereka selalu menemani. Namun apalah diriku, di sini malah hatiku jauh mengharap kepada yang lain. Padahal ada yang lebih menyayangiku, ada yang lebih memperhatikanku, namun aku memilih untuk menanti sebuah ucapan. Ku tunggu datangnya dari fajar menyapa hingga senja menghilang. Mungkin bagimu itu bukan sebuah hal yang penting untuk dibicarakan. Namun apa kamu tahu? Aku mungkin saja melakukan kesalahan besar, yaitu berharap kau akan mengucapkan dengan penuh ketulusan, manis untuk dibaca, dan bisa menjadi kenangan indah di hari bahagiaku ini. Namun rupanya aku salah. Salah berharap lebih. Salah telah mengingatmu. Salah untuk segala pengharapan yang harusnya sudah sirna sejak lama.

Aku memang salah, masih saja berharap kepada sosok yang nyatanya telah berhasil membuat ketiadaanku menjadi hal biasa. Terima kasih untuk ucapan singkatmu malam ini, aku bingung harus merasa apa. Maafkan aku yang selalu berharap lebih padamu, padahal sudah jelas-jelas kau minta padaku agar tak mengharapkanmu lagi. Kukira ucapanmu di malam kedelapan belas tahunku ini sudah cukup menjelaskan bagaimana kedudukanku di hidupmu saat ini. Sudah habis masaku, sudah terganti hadirku. Semua memang salahku. Menjatuhkan terlalu dalam, dan tak mau beranjak padahal telah dipaksa pergi berkali-kali. Maafkan aku yang berpura-pura baik-baik saja, bergaya seperti mengacuhkanmu, mencoba melupakanmu, mencoba baik-baik saja tanpamu, bisa berbahagia dengan manusia yang lain. Padahal jauh di sana aku masih menghitung berapa hari lagi aku masih harus berpura-pura seperti ini.

Aku bahagia melihatmu, melihatmu mendapatkan apa yang kau inginkan, mendapatkan apa bahagiamu, mendapatkan mimpi-mimpimu. Meski aku harus merasa sendiri atas rasaku ini. Aku bahagia merasa sakit, asal rasa sakit itu masih tentangmu, asal rasa sakit itu masih darimu. Aku rela. Pergilah kau sejauh kau mau. Carilah rumah senyaman kau mau. Namun jika nanti sudah tak ada lagi rumah untuk tempatmu pulang, ingatlah, di sini masih ada aku yang bersedia menerima kehadiranmu kapanpun kau mau, apapun keluhanmu, bagaimanapun perasaanmu. Aku tetap mau.

Terima kasih untuk segala doa baik di usia kedelapan belasku ini. Semoga segala doa baik kembali kepada kalian semua.


Salam Cinta,

mayaprimera

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Warna

Setiap Itu Adalah Kamu

Tanpa Suara